PRINSIP-PRINSIP ETIKA BERPROFESI
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu
kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip
etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi.
1.
Prinsip Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum
profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang
bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya
dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan
melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik
mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan
moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin
dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2.
Prinsip Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar
dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya
demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang
yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk
orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang
datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret
prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional
tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya
itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional
dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar
secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering
terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali
memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar
seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang
miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti
ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme,
karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani
masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3.
Prinsip Otonomi
Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan
profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam
menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat
profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang
profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam
pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah.
Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan
karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi
ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan
profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna
bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu
tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang
dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang
dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan
oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan
oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama,
prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian
dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan
masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung
jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang
profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan
merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam
pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum
profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur
tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan
umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan
bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam
menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak
tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu
pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak
lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan
penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa
mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan
pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai
departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan
sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4.
Prinsip Integritas Moral
Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat
jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas
pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk
menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan
masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum
profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia
tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas
profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan
profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada
godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar
niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas
moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas
bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip
keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan
mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah,
kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati,
ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini
terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia
rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu.
Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut
punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut
profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara
langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru
lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi
kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut
dalam melayani masyarakat.
Sumber:
http://prinsip-prinsipetikaprofesi.blogspot.co.id/
https://tekniksipilblog006.wordpress.com/2016/10/02/36/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar